Pengantar
Bagi kepentingan kolonialisme, kapitalisme, eksploitasi sumber daya alam, dan perampokan kekayaan alam di New Guinea. Untuk tujuan itu, ilmuwan barat telah memainkan peran yang signifikan. Ada empat pendekatan yang digunakan oleh ilmuwan Eropa dan Amerika. Pertama, pendekatan penyelayaan yang telah klaim New Guinea sebagai milik mereka dan diberika berbagai macam namai sesui identitas kultur dan politik mereka. Kedua, pendekatan ekspedisi gabungan yang melibatkan berbagai disiplin ahli: fisika, biologi, geologi, zoologi, anthropologi, dan linguistik. Ketiga, pendekatan penelitian mendalam dari masing-masing ahli tersebut. Para ahli fisika itu telah identifikasi potensi sumber daya alam berupa emas, tembaga, uranium, minyak dan gas, flora dan vauna, sedang ahli linguistik dan anthropolog klasifikasi manusia, budaya dan bahasa. Peran anthropolog sangat signifikan untuk klasifikasi orang Papua dalam pandangan yang mereka inginkan. Dari berbagai pendekatan itu, telah membangun teori-teori rasis, distriminasi dan stigmasisasi pada New Guinea. Manusia Papua di New Guinea digambarkan sebagai savage, pygmies, kanibal, primitive, dan agama mereka dikategori sebagai gerakan kargoisme, animisme, atau kepercayaan perhala.
Stigma Savage
Manusia Papua dikategorikan seebagai manusia savage dalam kerangka teori evolusi. Savage adalah manusia yang dianggap memiliki tingkat kehidupan dan kulturnya lebih rendah di atas satu tingkat dari hewan. Pandangan ini direpresentasi oleh para ahli seperti Yosep King (1909) dalam karya “W. G. Lawes of Savage Island and New Guinea”, Leopold A. D. Montague (1921) dalam karyanya “Weapons and implements of savage races”. Banyak karya pada masa itu telah mengambarkan sebuah teori yang sama terhadap orang asli Papua dan bangsa-bangsa Melanesia, Pasifik dan Australia. Pandangan ini digambarkan jauh sebelum abad ke-18 dan dilanjutkan hingga abad ke-19.
Kategorisasi ini dibuat karena mereka memiliki ideologi atau pandangan antara ras superioritas dan inferioritas, antara Eropa dan non Eropa, antara kami dan mereka. Orang Eropa sendiri diposisikan sebagai manusia beradab (civilization), diluar Eropa khususnya di Timur Tengah yang memiliki peradaban tinggi dan di Asia Barat dan dataran Cina diposisikan bangsa-bangsa barbarian, sedang bangsa lain di Asia, Afrika, Amerika dan Pasifik diposisikan Savage. Dalam kontest itu, orang Papua dikategori sebagai savage. Belakangan banyak anthropolog kritis pandangan ini, misalnya Marianna Torgovnick (1999) dalam karyanya “Gone primitive: savage intellects, modern lives” yang mengatakan intelektual savage telah menjadi kehidupan dunia modern sekarang. Karena semua teori yang dibangun dan dipelajari sekarang berbasis dari intelektual dan kultur dari orang-orang yang disebut savage tersebut.
Stigma Pygmies
Manusia Papua diklasifikasi sebagai manusia kerdil atau pygmies. Istilah Pymies sendiri digunakan oleh etnolog Jerman untuk klasifikasi orang-orang Shan di daerah kalahai dan etnik-etnik lain di Afrika. Kolonial juga diberi nama orang Shan dengan istilah Buchman, berarti manusia semak. Istilah Pygmeis itu kemudian diterapkan terhadap orang Papua dalam karya-karya mereka. A. F. R. Wollaston (1912) menulis “Pygmies and Papuans the Stone Age today in Dutch New Guinea”. Dalam buku ini, ia menjelaskan Papua secara geografis, kontak-kontak periodesasi dengan orang luar, ciri fenotipe orang Papua. Tahun berikutnya C. G. Rawling (1913), The Land of the New Guinea Pygmies. Rawling dalam buku ini deskripsikan pengalaman keterlibatkan dalam ekspedisi yang mengikuti sungai Mimika ke pegunungan, orang Papua yang mereka bertemu di kampung-kampung di pegunungan itu dikategori sebagai Pygmeis.
Dalam karya-karya ini digambarkan orang Papua sebagai manusia kerdil yang memiliki kapasitas otak dan intelektual sangat rendah. Sebagaimana dideskripsikan oleh A. De Quatrefages tahun 1895 terhadap orang Afrika dan orang Negrito-Papuans yang tersebar mulai dari India, kepulauan Andaman, hingga Timor, Maluku dan di batas utara di Filipina, kepulauan Melanesia dan New Guinea disebut sebagai pusat orang Negrito-Papuas. Pada tahun 1882 de Quatrefages, menulis: The Asiatic Pigmies, or Negritos, tulisan ini dimuat dalam jurnal Royal Asiatic, dalam tulisan ini dibahas pygmies di Asia dan Pasifik secara khusus. Pymeis Negrito-Papuas itu dikategori berbasis pada studi etnoglogi tentang distribusi ras negritos-Papua di Asia dan Pasifik. Antara lain ditulis oleh George Windsor Earl (1853) The Native Races of the Indian Archipelago. Papuans. Yang mengambarkan orang-orang dengan ciri fisik dengan warna kulit hitam, rambut kering hingga gelombang disebutnya penduduk asli di kepualaun Indo-Pasifik yang tersebar melintasi Asia ke Pasifik. Di New Guinea kajiannya tentang orang Papua di selat Dourga, pulau Kolebom di pantai selatan (kolonial Belanda: Frederick-Henry Island; Kolonial Indonesia: Jos Sudarso), orang Papua di pantai barat daya di sekitar Sorong dan sekitarnya, orang Papua di pantai utara terutama di Dorei Manokwari, di Teluk Yotefa (Jayapura kini), dan beberapa daerah lain berdasarlan laporan ekspedisi Belanda.
Earl juga klasifikasi orang-orang dengan ciri ini tersebar luas melintasi di Asia dan Pasifik seperti di kepulauan Aru, Ceram dan Maluku, Ahitas atau Negritos di Filipina, Mindoro, Negros, Mindanao, Sulu dan Borneo, orang Semang di Semenanjung Melayu, orang Andama, orang Sunda Chain, dan penduduk di Pulau Merville dan Australia utara. Alfred Russel Wallace (1869) tentang keberadaan Negritos-Papuas di Gilolo Halmahera dan orang Papua di pantai Dorei di Maknowakri.
Anthropolog lain, A. B. Meyer (1899) The Distribution of The Negritos. In the Phllirrine Islands and Elsewhere. Dalam buku ini melaporkan distribusi ras negritos secara luas mulai dari Cina, Japan, Malaya hinggal New Guinea. Mayer identifikasi dua puluh Sembilan tempat sebagai daerah bangsa-bangsa Negritos.
Stigma Kanibalisme
Dalam berbagai tulisan anthropology, biologi, zoologi, linguistik dan dalam banyak ekspedisi mereka telah digambarkan New Guinea sebagai tempat kanibalisme yang mengerihkan. Dulu suku-suku di sini sering makan daging manusia dari pihak musuh sebagai tindakan balas dendam karena kerabat mereka dibunuh. Tindakan itu bukan sebagai makanan, karena ada keinginan untuk makan daging manusia sebagai kebutuhan, tetapi tindakan emosional dan balas dendam. Tidak semua orang Papua yang melakukan hal ini, melainkan hanya pihak tertentu yang meresa telah kehilangan kerabat mereka, karena kerabat.kerabat itu dibunuh pihak. Tindakan balas dendam ini dieskploidasi oleh para ilmuwan Ero-Amerika untuk kepentingan kekuasaan dan perampasan sumber daya alam di tanah ini.
Kanibalisme tidak hanya terjadi di tanah Papua, kanibalisme adalah hukum universal di seluruh dunia. Banyak literatur menunjukkan bukti-bukti itu, kanibalisme pernah ada bangsa-bangsa lain di seluruh Pasifik, Australia, Asia, Amerika, Afrika dan Eropa.
Karoline Lukaschek (2000) dalam tesisnya: The History of Cannibalism, juga menjelaskan secara baik tentang kanibalisme secara global dari seluruh dunia, baik di India, Afrika, New Guinea, Fiji, New Zueland, Amerika Selatan, Mesoamerika, Kanada, Amerika Utara, Spanyol, Etiopia, Kroasia, Maula-Kuersi Francis, Afrika Selatan, Kerajaan Inggris, di Fontbr´egoua Prancis, dan Amerika Tenggara. Sementara itu, Garry Hogg (1998) Cannibalism and Human Sacrifice, juga menjelaskan kanibalisme sebagai hukum umum umat manusia di seluruh dunia. Ia mengambarkan kanibalisme di Fiji, Aztecs, dan Kwakiut di Indian Amerika, Basin di Amazon Amerika, etnik-etnik di Nigeria, Siera Leona di Afrika Barat, Basin di Kongo, di New Guinea, dan Melanesia lain, Polinesia, di Blackfellpw di Australia, Maori di New Zueland dan suku-suku di Indonesia, seperti orang Batak, Dayak di Sarawat, orang Timor, dan Maluku, penduduk asli di Sulawesi. Orang Milano dan penduduk asli lain di Filipina, dan etnik-etnik lain di Asia Tenggara.
Oleh: A. Ibrahim Peyon, Ph.D